MEGANEWS.ID - Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Prima dan menghukum Komisi Pemilihan Umum untuk menunda pemilu merupakan kekeliruan, karena bertentangan dengan UUD 1945.
"(Putusan) Itu jelas ngawur dan keliru, karena gugatan perdata adalah hukum private," ucap Wakil Ketua DPC Peradi Tangerang Raya sekaligus praktisi hukum Ferdian Sutanto kepada awak media, Jumat (3/3/2023) di Jakarta.
Ferdian yang juga Wasekjen Badan Advokasi Hukum DPP Partai Nasdem, mengaku tak habis pikir apa yang mendasari pertimbangan majelis hakim dalam putusannya tersebut. Pasalnya bunyi salah satu amarnya tentang penundaan Pemillu Presiden, telah jelas diatur oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia, yakni Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945.
"Isinya, pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Kata kalimat 5 tahun sekali di UUD itu sudah jelas, makanya saya bilang putusan PN Jakpus itu ngawur," tegasnya.
"Harusnya hakim dalam memutus perkara itu berpedoman pada HIR dan perlu di ingat, UUD NRI 1945 sebagai hukum dasar tertinggi," sambungnya.
Advokat yang dikenal vokal ini mengkritisi gugatan yang diajukan oleh Partai Prima di PN Jakarta Pusat adalah gugatan perdata, sehingga berlaku untuk yang bersengketa saja. "Dengan putusan itu lalu bagaimana nasib pemilu kita dan hak rakyat sebagai peserta pemilu, apakah harus dikorbankan," ulas Ferdian bertanya.
Dia menyebut putusan tersebut jadi preseden yang merugikan banyak pihak. "Hukum perdata itu bersifat private. Jika putusan ini berlaku, ini akan jadi preseden yang tidak baik dalam dunia penegakan hukum. Ruang lingkupnya private nanti bisa masuk ranah hukum lain, yaitu hukum konstitusi dan atau hukum pemilu," pungkasnya.
Ferdian menyatakan yang lebih menarik dari putusan itu adalah adanya kalimat serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), yang artinya kalaupun ada upaya hukum lainnya, seperti banding dan kasasi, maka putusan tersebut dapat dijalankan. "Tentu hal ini mengundang kontroversi dan diduga merusak tatanan hukum," imbuhnya.
Dalam konteks tersebut dia berpendapat baiknya KPU RI mengajukan banding. Karena ada upaya banding oleh KPU, maka putusan PN Jakpus itu belum berkekuatan hukum tetap. "Hakim tingkat banding akan jeli dalam mempertimbangkan dan memutuskan hal tersebut agar tidak keliru," ucap Ferdian dengan yakin.
Perlu diketahui, kontroversi soal putusan penundaan pemilu berawal dari gugatan Partai Prima terhadap KPU RI yang dilayangkan partai tersebut pada 8 Desember 2022 dengan Nomor Register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.
Partai Prima merasa dirugikan KPU RI yang menetapkan sebagai partai dengan status tidak memenuhi syarat administrasj sehingga tidak bisa mengikuti verifikasi faktual.
Padahal, setelah dipelajari dan dicermati Partai Prima, jenis dokumen yang sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat ternyata dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU dan hanya ditemukan sebagian kecil permasalahan. Akibat kecerobohan itu, PN Jakpus menghukum KPU untuk menunda pemilu.
Hakim menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.