MEGANEWS.ID - Pemanggilan dan pemeriksaan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto sebagai saksi untuk tersangka Harun Masiku oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (10/7/2024), dinilai suatu akrobat politik yang sangat tidak elok dipertontonkan oleh KPK.
Hal itu dikatakan Koordinator TPDI & Advokat Perekat Nusantara Petrus Selestinus dalam siaran persnya yang dikirimkan ke redaksi Meganews.id, Selasa (11/6/2024).
Petrus menyatakan Hasto bersikap koorperatif saat dipanggil KPK sebagai saksi. Karenanya KPK harus menghormati dan memperlakukan Hasto sebagai saksi dengan segala haknya yang dilindungi oleh ketentuan pasal 5 dan pasal 7 KUHAP dan oleh UU KPK.
"Namun apa yang dihadapi oleh Hasto, ketika bertemu dengan penyidik KPK, ternyata KPK menunjukan sikap dan perilaku yang arogan, pemer kekuasaan," sentil Petrus.
Bahkan, lanjutnya KPK memperlakukan Hasto layaknya sebagai seorang tersangka dengan serta merta melakukan upaya paksa dengan menyita HP dan tas tangan milik Hasto di luar prosedur hukum.
SAKSI ADALAH MITRA PENYIDIK
Disebutkan Petrus, HP dan tas tangan milik Hasto dijadikan KPK seakan-akan menjadi bagian dari alat bukti permulaan yang c8ukup bagi penyidik dalam menetapkan Hasto sebagai tersangka. Padahal Hasto adalah Saksi bukan tersangka, karena itu sesuai prinsip hukum acara tentang penyitaan terhadap suatu barang dari seseorang, maka barang itu harus merupakan hasil dari kejahatan atau alat untuk melakukan kejahatan serta dilakukan berdasarkan KUHAP dan ketentuan pasal 46 dan 47 UU No.19 Tahun 2019 Tentang KPK.
Dia menyebut arogansi KPK tersebut merupakan pelanggaran hukum yang serius terhadap prinsip KUHAP dan prinsip pasal 46 dan 47 UU No.19 Tahun 2019, di mana penyidik memperlakukan Hasto sebagai tersangka dan mengabaikan ketentuan pasal 5 dan pasal 7 KUHAP berikut penjelasannya yaitu tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
"Artinya apa yang dilakukan oleh KPK tidak bertentangan dengan hukum, selaras dengan kewajiban hukum, patut dan masuk akal dan menghormati HAM Hasto sebagai saksi," ujar Petrus.
Dia menyebut sebagai seorang saksi yang keterangannya sangat diperlukan KPK, maka Hasto layaknya diposisikan sebagai mitra Penyidik KPK (terlepas dari apakah kemudian nanti KPK mau menjadikan Hasto sebagai tersangka).
Secara prinsip hukum, hak Hasto sebagai Saksi harus dihormati, karena dari Hasto KPK berharap memperoleh informasi dan bukti untuk membuat perkara menjadi lebih terang.
KPK TIDAK BERWENANG SITA
Petrus menerangkan hanya barang milik tersangka, atau barang yang digunakan oleh tersangka untuk melakukan tindak pidana korupsi atau barang hasil kejahatan korupsi yang dimiliki oleh tersangka, maka KPK dapat melakukan penyitaan di luar mekanisme KUHAP, artinya penyitaan itu cukup dilakukan dengan izin dari Dewas KPK atau dapat dimintakan izin segera setelah penyitaan terjadi (pasal 46 dan 47 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 19 Tahun 2019).
Dalam kasus sita HP dan tas tangan milik saksi Hasto, KPK justru dinilai Petrus melakukan sita tidak dari tangan Hasto tapi dari seorang staf Hasto itupun dengan cara menjebak. "Ini adalah langkah polticking KPK, nuansa politiknya sangat kental, antara lain untuk mempermalukan seorang Hasto dengan segala aktivitas Hasto selama ini bahkan Hasto diduga kuat dijadikan sebagai tumbal politik balas dendam kekuasaan," tandasnya.
Dia melanjjutkan lebih jauh, kalau saja Hasto berdasarkan bukti permulaan yang cukup dinyatakan sebagai tersangka, kemudian lari bersama-sama Harun Masiku dan dinyatakan DPO, maka sah-sah saja KPK menyita HP dan tas tangan milik Hasto di luar mekanisme KUHAP dan menggunakan mekanisme Pasal 46 dan 47 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 19 Tahun 2019 Tentang KPK.
Di sini KPK telah melakukan tindakan sewenang-wenang, mencampuradukan wewenang dan melampaui wewenang, karena apapun alasannya Hasto adalah saksi, bukan tersangka. Namun tindakan KPK menyita HP dan tas tangan milik Hasto, seolah-olah Hasto adalah tersangka, berimplikasi kepada tindakan Sita KPK menjadi tidak sah dan KPK harus segera kembalikan HP dan tas tangan milik Hasto tanpa syarat.
Implikasi hukum lainnya adalah KPK bisa digugat Praperadilan dan Gugat PMH ke Pengadilan berdasarkan ketentuan pasal 66 UU No.19 Tahun 2019 Tentang KPK sejalan dengan KPK dilaporkan ke Dewas KPK sebagai pelanggaran Etik, semata-mata karena KPK tidak cermat membaca ketentuan pasal 46 dan 47 UU No.19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 20 Tahun 2002 Tentang KPK.