Nenek 70 Tahun dan Ahli Waris Mengadu ke Presiden Prabowo dan Kapolri atas Perkara Tanahnya

Ferry Edyanto | Jumat, 21 Februari 2025 - 13:55 WIB
Nenek 70 Tahun dan Ahli Waris Mengadu ke Presiden Prabowo dan Kapolri atas Perkara Tanahnya
Nenek Wiwik Sudarsih bersama Poltak Silitonga dan keluarga ahli waris lainnya di lokasi tanah milik almarhum Brata Ruswanda, Kamis (20/2/2025). Foto: (Ferry Edyanto/Meganews.id).

 

 

MEGANEWS.ID - Keluarga ahli waris Brata Ruswanda memohon keadilan kepada Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, terkait dugaan adanya praktek mafia hukum pada laporan tindak pidana penyerobotan dan penggunaan surat palsu dengan terlapor Nurhidayah, Bupati Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah, karena pengusutannya oleh Bareskrim terkesan lambat. 

 
Kejanggalan lainnya, penyidik Bareskim Polri terkesan berat sebelah di mana dokumen asli surat tanah milik ahli waris pelapor, oleh Dirtipidum Brigjen Pol. Djuhandani, 'disandera' tanpa hak dan alasan yang jelas.
 
Kasus ini menjadi buah bibir di kalangan keluarga ahli waris almarhum Brata Ruswanda, pasalnya kasus tersebut telah dilaporkan sejak 8 tahun silam, tapi hingga saat ini belum ada satu pun tersangkanya.
 
“Saya sudah bolak balik ke Bareskrim Polri sejak tahun 2018, tapi sampai 2025 tidak ada keputusan dan tidak ada alasan apapun yang disampaikan kepada kami. Kami tetap menunggu dan menunggu tapi tidak ada perkembangan," ujar Wiwik Sudarsih (70), salah satu ahli waris Brata Ruswanda kepada awak media, Kamis (20/2/2025) di Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. 
 
Diceritakan Wiwik, berpindahnya dokumen asli surat tanah Brata Ruswanda ke penyidik Bareskrim Polri terjadi pada 2019, setahun setelah laporan dilakukan pada tahun 2018, dengan Laporan Polisi Nomor: LP/1228/X/2018/BARESKRIM dan Laporan Polisi Nomor: LP1229/X/2018/BARESKRIM.
 
Nenek yang tidak melek hukum ini mengaku didatangi sejumlah penyidik di rumahnya. Penyidik itu meminta Wiwik sejumlah dokumen asli surat tanahnya dengan alasan untuk kepentingan penyidikan. “Penyidik datang ke rumah, 'bu ada surat-surat yang aslinya, boleh kami pinjam sebentar bu untuk sementara'," beber Wiwik menirukan penyidik, ketika itu.  
 
Atas alasan itu, Wiwik pun tanpa berpikir panjang menyerahkan dokumen surat tanah dimaksud. "Saya bilang, kalau sudah selesai mohon dikembalikan ya, tapi, rupanya, sampai sekarang enggak dikembalikan. Kami kecewa sama Mabes Polri, sangat kecewa," sesal Wiwik.
 
Wiwik Sudarsih dan pengacara Poltak Silitonga saat melaporkan Brigjen Pol. Djuhandani di Divpropam Mabes Polri. Foto: (Ferry Edyanto/Meganews.id).
 
Nenek lanjut usia ini mengaku sudah empat kali bolak-balik menagih dokumen asli surat tanah milinya itu ke Bareskrim Polri. Tapi, upayanya tak membuahkan hasil dengan sejumlah alasan yang dibuat-buat oleh penyidik dengan banyak alasan. 
 
"Ehh, itu dokumen surat tanah milik saya asli loh, dan saya ini pelapor. Seharusnya yang ditekan itu bukan saya, tapi terlapor, jangan dibolak-balik. Sungguh saya kecewa dengan penanganan Bareskrim Polri," ujar Wiwik, mengaku sudah kehabisan pikir.
 
Wiwik merasa capek telah dipermainkan penyidik Bareskrim Polri. "Saya sudah capek dipermainkan penyidik, Pak Presiden Prabowo dan Pak Kapolri, tolong bantu, saya butuh keadilan dan kepastian hukum atas hak tanah saya. Tolong bantu saya Pak Presiden," ujar berharap.
 
 
KRONOLOGIS
 
Di tempat yang sama, Poltak Silitonga, S.H., M.H., kuasa hukum ahli waris Brata Ruswanda, menceritakan risalah persoalan tanah kliennya itu. “Rekan-rekan sudah mendengar penjelasan dari klien kami di sini. Ibu ini adalah anak pertama ya anak tertua daripada ahli waris Brata Ruswanda," ujar Poltak.
 
Dia menjelaskan bahwa tanah yang diakui oleh terlapor Nurhidayah sebagai aset milik pemerintah daerah tidak memiliki dasar. Karena pemerintah daerah sama sekali tidak punya kelengkapan dokumen yang kuat. "Kami siap membuktikan dan mendalilkan aset ini milik kami, ada surat-surat aslinya," tegasnya.
 
Menurut Poktak, tanah yang dikuasai kliennya adalah sah secara hukum milik almarhum Brata Ruswanda tang dibeli dari keluarga Kerajaan pada tahun 1963. Tanah itu dibeli Brata Ruswanda saat menjabat kepala Dinas Pertanian. 
 
"Karena waktu itu tidak ada kantor, sebagian dari tanah Brata Ruswanda itu, kurang lebih seluas 1 hektar, dihibahkan menjadi Kantor Dinas Pertanian," terang Poltak.
 
Brata Ruswanda selanjutnya membeli tanah di bawahnya seluas 10 hektar dari keluarga kerajaan, pada tahun 1968 lengkap ada surat aslinya dari Kepala Desa Kampung Baru. "Dari dokumen Surat Keterangan Tanah (SKT) dengan nomor PEM-3/13/KB/1973 itulah kita dapat pastikan, bahwa memang itu asli adanya. Tahun 1973, kepala desa setempat mengeluarkan SKT-nya," ulas Poltak.
 
Lawyer yang dikenal dengan panggilan PH Jepang itu menyatakan pada tahun 2015, kepala kampung yang mengeluarkan surat itu juga sudah pernah diperiksa oleh penyidik Polda Kalteng, mempertanyakan soal surat SK itu. "Di berita acara pemeriksaannya disebut bahwa surat SKT tahun 1973 itu adalah benar-benar dia yang membuat, jadi jangan dibilang palsu atau tidak benar, itu ada di BAP-nya," tegasnya.
 
Poltak lalu membeberkan sejumlah dokumen lain untuk membuktikan kesahihan hak kepemilikan keperdataan tanah milik kliennya itu. Tahun 1974, Dinas Pertanian pernah meminjam tanah tersebut kepada Brata Ruswanda untuk dijadikan lahan pembibitan, ada suratnya berupa hak pinjam pakai pada tahun 1973. "Kepala Dinas Pertanian Provinsi, Y.H Ratih meminjam kepada Brata Ruswanda. Ini, ada suratnya, dan ini juga yang ditahan oleh Mabes Polri," bebernya.
 
Poltak menyebut, dari 10 hektar tanah milik Brata Ruswanda itu, sebagiannya sudah dijual dan dibagi-bagikan kepada anaknya dan telah berserfikat. "Sebagian tanah ini telah dijual oleh Brata Ruswanda kepada orang lain dan sudah keluar sertifikatnya tahun 2001/2002, itu semua bersumber dari SKT ini, ada sekitar 12 bidang dan tidak ada masalah, itu tak ada masalah tuh," jelasnya.
 
Namun, cerita menjadi lain. Pada tahun 2005, ketika Brata Ruswanda hendak mensertifikatkan tanahnya secara keseluruhan di BPN setempat. "Saat pengukuran dan cek lokasi dilakukan tidak ada masalah, begitu sudah mau dibayar dan tinggal menunggu keluar sertifikatnya, tiba-tiba ada intervensi dari Dinas Pertanian, sehingga sertifikat batal dikeluarkan oleh BPN.
 
"Katanya ini adalah aset tanah Dinas Pertanian berdasarkan SK Gubernur 1974, yang dokumennya hanya berupa fotocopyan. Adapun wujud aslinya tidak pernah terlihat," ujar Poltak.
 
Pengacara yang dikenal berani dan kritis ini menduga SK Gubernur 1974 sengaja diciptakan dan dihembuskan untuk menguasai aset tanah Brata Ruswanda. "Tidak tertutup kemungkinan itu dokumen fiktif yang dipakai sebagai alat oleh mafia tanah untuk merebut aset tanah dari almarhum Brata Ruswanda. Melihat dari lokasinya yang luas di tengah kota, aset ini punya nilai tinggi," paparnya.
 
"Patut kita duga SK Gubernur 1974 adalah fiktif," sambungnya lagi.
 
Dirtipidum Dipertanyakan
 
Atas dasar itu, Poltak mempertanyakan Dirtipidum Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Djuhandan Rahardjo Puro. Djuhandani kepada Meganews.id, menyatakan bahwa surat-surat yang diserahkan pelapor belum diberikan  karena masih menunggu mekanisme gelar perkara. 
 
Menurut Dirtipidum, surat-surat dokumen tersebut saat ini dalam proses pengawasan dan pengendalian Wakabareskrim dan Kabareskrim. Djuhandani beralasan, hasil uji laboratoriun forensik menyimpulkan barang bukti yang diajukan oleh pelapor juga ternyata non identik atau palsu. "Hal itulah perlu pertimbangan kemana BB itu akan diserahkan, dan bagaimana cara menyerahkannya, karena BB yang diajukan pelapor juga palsu," tegasnya.
 
Djuhandani juga menimpali enteng ketika ditanya akibat dari penahanan dokumen asli milik korban, dirinya dilaporkan ke Divpropam Polri. "Kami penyidik melaksanakan tugas secara profesional, mana ada penyidik menggelapkan BB, kurang kerjaan saja. Kalau masalah itu dilaporkan ke propam itu tidak masalah karena itu wujud transparansi Polri dalam melaksanakan tugas," jawabnya via aplikasi wattsapp.
 
Menimpali hal itu, Poltak menilai Dirtipidum perlu banyak belajar tentang ilmu hukum. "Dari mana hak dia (Dirtipidum) bisa menyatakan dokumen itu tidak identik sebagai yang palsu, yang berhak menyatakan dokumen itu asli atau abal-abal adalah pengadilan. Suruh belajar lagi dia, ilmu hukum yang dasar apa dia gak paham," ungkap Poltak dengan heran.
 
"Orang yang membuat dokumen surat (SKT) itu juga ada di dalam BAP dan sudah diperiksa di Polda Kalteng, apa urusannya tidak identik dengan surat kita, yang kita laporkan adalah Bupati Kota Waringin Barat ibu Nurhidayah yang kita duga membuat surat palsu, kok surat mereka tidak diperiksa malah surat kita disebut palsu, ngaco itu Dirtipidum," sambung Poltak.
 
Untuk itu, Poltak mendesak Kapolri untuk segera mencopot Dirtipidum Brigjen Pol. Djuhandani karena dinilai serampangan dan jauh dari keadilan dalam menjalankan tugasnya. "Di sini dia (polisi) malah fokus memeriksa pelapor, bukannya terlapor. Ini bikin heran, ada apa kok begitu?" ucapnya dengan nada heran.
yt-1 in left right search line play fb gp tw wa