Dua Nasabah PT Mahkota Tolak Pembayaran Saat Dilakukan Gelar Khusus di Bareskrim Polri

Ferry Edyanto | Selasa, 12 Juli 2022 - 18:50 WIB
Dua Nasabah PT Mahkota Tolak Pembayaran Saat Dilakukan Gelar Khusus di Bareskrim Polri
Tim kuasa hukum PT Mahkota usai gelar perkara khusus di Bareskrim Polri, Selasa (12/7/2022). Foto: (Ferry Edyanto/Meganews.id).

 

MEGANEWS.ID - Gelar perkara khusus atas tiga Laporan Polisi dengan jumlah korban pelapor 28 orang yang diduga dilakukan PT Mahkota Properti Indo Permata (MPIP) dan PT Mahkota Properti Indo Senayan (MPIS), merupakan peristiwa perdata sehingga kasusnya tidak bisa dilanjutkan dan harus dihentikan, karena sudah menempuh keperdataan melalui putusan Homologasi No. 76/PD.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga Jkt.Pst.

Hal itu disampaikan Tim Kuasa Hukum dari PT MPIP dan PT MPIS, Adek Erfil Manurung, Surya Simbolon dan Hilmi F Ali kepada awak media di Bareskrim Mabes Polri, Selasa (12/7/2022).

Penjelelasan Adek Manurung disampaikan usai mengikuti gelar perkara khusus di Biro Wassidik, Bareskrim Polri yang dihadiri oleh pelapor, yakni Ronny Sumenep, Verawaty Sanjaya dan Maria Jene beserta kuasa hukumnya, Alvin Lim dan tim.

Acara gelar perkara khusus ini juga menghadirkan Ahli Bisnis Pasar Modal dan Pidana, DR Ekawaty Kristianingsih, SH, M.Hum. Adapun dari Kepolisian dihadiri oleh perwakilan dari Itwasum, Bidkum, Propam, tim Penyidik Mabes Polri dan tim Penyidik Subdit Fismondev Polda Metro Jaya yang menangani ketiga laporan polisi tersebut, yakni;

Laporan polisi ketiga pelapor, yakni No. LP/2228/IV/YAN.2.5/2020 Spkt.PMJ tertanggal 9 April 2020 dengan pelapor Sukrisrich Putra.

Lalu Laporan Polisi No. LP/2644/V/YAN.2.5/2020/Spkt.PMJ tertanggal 4 Mei 2020 dengan pelapor Ronny Sumenep. 

Laporan ketiga adalah LP No. LP/3161/VI/YAN.2.5/2020/Spkt.PMJ tertanggal 4 Juni 2020 dengan pelapor Victory Imanuel Martindas.

Adek Manurung menyebut saat gelar perkara tersebut, terungkap adanya keinginan dari salah satu pelapor, yakni Maria Jene yang memilih opsi untuk dilakukannya pembayaran berdasarkan putusan Homologasi.

Namun, dua pelapor lainnya, yakni Verawaty Sanjaya dan Ronny Sumenep yang merupakan pasangan suami istri, lebih memilih dilakukannya proses hukum pidana. "Pasangan suami istri ini menginginkan Pak Raja Sapta Oktohari untuk dipenjara ketimbang uangnya kembali," kata Adek.

Padahal, lanjut Adek, fakta pada saat dilakukannya gelar tersebut, Raja Sapta Oktohari tidak mengenal keduanya. "Bagaimana mungkin Pak Okto menawarkan kepada keduanya, hal ini membuktikan mereka ini ingin mengkriminalisasi dan mencemarkan nama baik Pak Okto," ujar Adek Manurung.

Adek melanjutkan bahwa hingga saat ini PT MPIP dan PT MPIS telah melaksanakan sebanyak 20 persen dari total tagihan kreditur yang ada dari keputusan Homologasi yang berakhir di tahun 2026.

"Saya tidak melihat adanya keinginan (Verawaty dan Ronny) untuk dibayar. Mereka bukan niat baik, tapi ada niat buruk terhadap klien saya," tegas Adek Manurung.

Adek bahkan merasa Verawaty dan Ronny bermain-main dan tidak ada itikad baik menyelesaikan masalahnya. "Awalnya keduanya mau berdamai. Ketika ditawarkan penawaran berupa pergudangan di daerah Banten sesuai dengan total tagihan senilai Rp18 miiar, tetapi kedunya menolak. Alasannya sertifikatnya bodong," ujar Adek Manurung.

Sambil memperlihatkan bukti sertifikat asli kepada wartawan, Adek Manurung dengan spontan melontarkan, "Siapa sebenarnya yang tidak baik itu, Verawaty dan Ronny atau klien saya?

"Mana yang dibilang sertifikat bodong? Ini buktinya," lanjut Adek Manurung.

Kuasa hukum PT MPIP dan PT MPIS lainnya, Hilmy F Ali, menjelaskan terkait gelar perkara tersebut bahwa, PT MPIP dan PT MPIS tidak menghimpun dana sehingga tidak memerlukan izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Dikarenakan PT MPIP dan PT MPIS menjual produk, yakni MTN dan revo saham yang diikat oleh perjanjian. Bukan menghimpun dana dari masyarakat, jadi peristiwa tersebut adalah peristiwa perdata antara debitur dan kreditur," terang Hilmy.

Surya Simbolon selaku tim kuasa hukum PT MPIP dan PT MPIS mengungkapkan kasus tersebut sebetulnya sudah selesai karena sudah ada legalisasi putusan Homologasi No. 76/PD.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga Jkt.Pst. "Hubungan PT Mahkota sebagai debitur dan nasabah sebagai kreditur sudah diselesaikan di PKPU. Kita harus tunduk dan patuh terhadap putusan pengadilan," kata Surya Simbolon.

Dikejar wartawan terhadap pelapor yang tidak puas atas ke lima skema yang ada di dalam putusan Homologasi, Surya menjawab, "Ya, mungkin dia punya kepentingan yang lain. Kepentingan suara hukum dia atau kepentingan suara kuasa hukumnya."

Di akhir percakapan tersebut, Surya justru melihat jangan karena kepentingan satu atau dua orang, bisa merugikan banyak orang kreditur PT Mahkota yang jumlahnya mencapai 5 ribuan orang. "Jangan sampai ambisius satu dua orang ingin mengkriminalisasi orang lain, tujuan bersama jadi buyar. Mari sebagai warga negara yang baik, kita jalankan putusan Homologasi yang berkekuatan hukum tetap," sergahnya.

yt-1 in left right search line play fb gp tw wa