MEGANEWS.ID - Persidangan kasus pemalsuan akta otentik dengan terdakwa notaris Bonardo Nasution menyedot perhatian pengunjung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (11/1/2023). Nurcholis yang menjadi saksi dalam kasus itu dicecar seputar materi draft perjanjian dan bukti cek pembayaran, yang diakuinya tidak pernah dia terima sepeserpun duitnya. Persidangan pun berjalan alot.
Sebelum menyampaikan kesaksiannya, T Oyong yang menjadi Ketua Majelis Hakim di persidangan itu mengambil sumpah Nurcholis sesuai keyakinan agama yang dianut saksi.
Jaksa Penuntut Umun (JPU) Andry kemudian menanyakan kepada saksi perihal kronologis kasus tersebut. "Sebelumnya saya tidak kenal terdakwa. Saat itu tahun 2012, saya diajak Saparudin ke City Walk ke kantor terdakwa Bonardo dan disana bertemu dengan Samuel Purba," ucap Nurcholis mengawali kesaksian.
Saksi menyampaikan kehadirannya diundang untuk bersilaturahmi. Sebagai ahli waris dari H. Mansyur, kedatangannya ke kantor terdakwa sekaligus menindaklanjuti soal Akte Perdamaian Nomor 4.
JPU lalu menanyakan kepada saksi. Apakah dalam pertemuan itu saudara ada buat suarat kuasa? Nurcholis menjawab, "Tidak ada."
Saksi juga menyampaikan dalam pertemuan dirinya tidak membawa surat kuasa dari Santoso selalu saksi pelapor dari kasus itu. Nurcholis menyatakan dia datang sebagai wakil dari H. Mansyur, ayahnya.
Saat Nurcholis membeberkan kesaksiannya, terdakwa Bonardo yang duduk dengan kemeja batik coklat tampak dengan seksama memperhatian uraian saksi. Beberpa kali dari uraian saksi bahkan terlihat dia catat.
Bonardo Nasution adalah notaris yang dijerat Pasal 263 KUHPidana bersama Samuel Purba.
Saksi menyebut dalam pertemuan tersebut Samuel mengatakan akan membuat kelanjutan Akte Nomor 4, yakni Akte penyelesaian kewajiban No 5, agar ada penyelesaian pembayaran. "Akan dibuatkan aktenya daripada kewajiban itu," jelas Nurcholis.
Selanjutnya, Nurcholis mengaku ikut menandatangani akta penyelesaian kewajiban nomor 5 meski tanpa legalitas dari Santoso. "Saat menandatangani akta penyelesaian kewajiban nomor 5 memang saya tidak ada surat kuasa dari saksi Santosp," aku Nurcholis.
Saksi juga menyampaikan dihadapan persidangan bahwa dirinya melihat adanya pemberian dua Cek kepada terdakwa Bonardo. Cek pertama Rp 2 miliar dan cek kedua Rp 600 juta.
"Dua cek itu diserahkan Samuel kepada terdakwa," ujar saksi.
Dari jawaban saksi itu, lalu Jaksa Andry mengejar pertanyaan lanjutan terkait isi perjanjian yang menyebut bahwa pihak kedua (Samuel Purba) telah melakukan pembayaran kepada pihak pertama (Santoso). Soal ini, apakah saksi pernah menerima pembayarannya gak yang 600 juta? "Tidak," jawab saksi menjawab, singkat.
Jaksa Andry lalu menimpali bahwa keterangan yang disampaikan Nurcholis berkesesuaian dengan apa yang disampaikan Santoso. "Kalau saudara bilang terima berarti anda yang mengambil duitnya, kan gitu," timpal JPU.
Kendati diakui saksi dirinya tidak melihat adanya pembayaran dalam bentuk uang cash, dalam kasus ini saksi ikut menandatangani isi perjanjian yang dibuat oleh terdakwa. Atas alasan ini, saksi Nurcholis berkelit bahwa dirinya hadir mewakili ayahnya, H. Mansyur.
Apakah saksi pernah menerima uang, kejar Jaksa. "Saya tidak pernah menerima uang tersebut, sepengetahuan saya ia dalam bentuk cek dititipkan kepada terdakwa Bonando," jawab saksi.
Jawaban itu rupanya tidak memuaskan Jaksa. Sehinga untuk kali kedua Penuntut Umum harus menjelaskan dengan pelan-pelan tentang makna mengapa saksi mau ikut menandatangi isi perjanjan padahal faktanya tidak pernah menerim uang.
Karena rangkaian itu pula, Ketua Majelis hakim T Oyong akhirnya memotong percakapan dan menegur saksi. "Anda tidak punya surat kuasa dari Santoso, selalu menyebut sebagai ahli waris, Perkara ini bukan soal warisan," tegas T. Oyong.
Dari situ, majelis hakim lalu memberikan kesempatan tim kuasa hukum terdakwa menggali kesaksian Nurcholis. Saksi ditanyakan perihal saat akta perjanjian akta nomor 5 dibuat. Nurcholis menjawab bahwa dirinya tidak mengetahui karena tidak berada di kantor notaris Bonardo.
"Tidak, Pak. Saya di bawah, di caffee. Itu posisinya dalam satu gedung," jawab Nurcholis.
Jawaban Nurcholis langsung ditimpali terdakwa dengan mempresentasikan gambar yang telah dia persiapkan di 3 lembaran kertas.
Nurcholis selanjutnya ditanyai terkait adanya renvoi isi perjanjian. Saksi menyebut dirinya tidak pernah tahu menahu tentang hal itu dengan alasan tidak pernah diberikan salinannya.
Kepada saksi majelis hakim kemudian menjabarkan terkait adanya akte nomor 4 dalam perjanjian itu. Disebutkan dengan adanya klausul dibayarkan seperti tercantum dalam perjanjian, seolah-olah akta nomor 4 sudah lunas. "Tetapi kenyataannya, kan tidak ada sepeserpun uang yang saudara terima, kan?" majelis hakim menjabarkan. "Iya, Pak," jawab saksi singkat.
Lalu majelis hakim melempar pertanyaan tentang siapa yang menginisiasi akte nomor 5. Saksi lalu menjawab, "Yang saya tahu pak Samuel dan Saparudin."
Sebelum menutup persidangan majelis hakim mempersilahkan terdakwa untuk mengoreksi keterangan yang disampaikan saksi. Terdakwa menyatakan tidak semua kesaksian yang disampaikan berkesesuaian. "Tidak semuanya benar," tegas terdakwa.
Tapi, saksi menyatakan tetap pada kesaksiannya. "Saya tetap pada keterangan saya," ucap Nurcholis.
Sebagaimana disebutkan, perbuatan pidana dalam kasus ini berawal dari permasalahan sengketa tanah antara saksi korban Drs. Santosa Brata Djaja dengan saksi Samuel Purba (yang dilakukan penuntutan secara terpisah) yaitu sama-sama mengaku sebagai pembeli yang sah terhadap tanah milik Adat Girik No.C 343, Persil 21 Sill atas nama Miot Binti Miah seluas kurang lebih 30.810 m2 No.385, yang terletak di Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
Dalam sengketa tersebut dari putusan perdata pada Peradilan Tingkat Pertama, Banding, Kasasi dan PK (peninjauan kembali) semuanya dimenangkan oleh saksi korban Santosa selaku penggugat dan tanah yang terletak di Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung, Kota Jakarta Timur adalah secara hukum sah dibeli oleh saksi korban Santosa Brata Djaja.
Karena kalah dalam perkara perdata, kemudian saksi Samuel Purba mengajak saksi korban Santosa untuk berdamai. Selanjutnya, kedua belah pihak sepakat untuk berdamai dan dibuatlah Akta Perjanjian Perdamaian No 4 tanggal 01 September 2008, Akta Pernyataan No.157 tanggal 22 Oktober 2008 dan Akta Adendum No.49 tanggal 06 November 2008 yang dibuat dan ditandatangani di Kantor Notaris Buntario Tigris, SH.
Salah satu klausul dalam Akta Perjanjian tersebut disepakati pihak saksi Samuel wajib memberikan uang kompensasi sebesar Rp 4,5 miliar kepada saksi korban Santosa.
Tetapi beberapa tahun kemudian tanpa seijin dari saksi korban Santosa, pada tanggal 17 April 2012 dengan inisiatif sendiri saksi Samuel mendatangi terdakwa Bonardo Nasution selaku Notaris dan PPAT, yang juga merupakan temannya di City loft Sudirman, untuk meminta atau menyuruh dibuatkan Akta Otentik berupa Akta Penyelesaian Kewajiban No. 5 tanggal 17 April 2012.
Akta Otentik tersebut dibuat tanpa sepengetahuan dan tanpa kehadiran dari saksi korban Santosa selaku pihak terkait yang wajib hadir dalam pembuatan Akta Otentik tersebut.
Karena saksi Samuel adalah teman baik terdakwa, maka pada saat itu terdakwa langsung membuat Akta otentik berupa Akta Penyelesaian Kewajiban No.5 tanggal 17 April 2012 tanpa dilengkapi dokumen-dokumen yang sah, dan tidak sesuai dengan SOP/prosedur yang berlaku dalam pembuatan suatu Akta Otentik.
Terdakwa juga sudah menyadari kalau isi dari Akta otentik yang dibuatnya tersebut tidak benar karena terdakwa tidak pernah sama sekali melakukan cek data, dan memverifikasi dokumen-dokumen atau menanyakan langsung kepada saksi korban Santosa terkait kebenaran dari isi Akta otentik berupa Akta Penyelesaian Kewajiban No.5 tanggal 17 April 2012 sebagaimana yang diamanatkan atau disyaratkan dalam pasal 16 Ayat (1) huruf m Undang-undang No.2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yakni “kewajiban pembacaan Akta oleh Notaris dihadapan penghadap dan saksi”.
Adapun inti dari isi Akta Penyelesaian Kewajiban No. 5 tanggal 17 April 2012 yang dibuat oleh terdakwa tersebut adalah sebagai berikut:
Bahwa saksi korban Santosa telah menerima uang kompensasi dari saksi Samuel Purba dengan rincian:
1. Rp600 juta pada tanggal 06 November 2008
2. Rp1 miliar pada tanggal 08 Maret 2012 dengan giro Bank BCA No.385826.
3. Rp300 ratus juta telah diterima sebelum Akta ini dibuat.
4. Rp2 miliar dengan cek No.127156 tanggal 1 Mei 2012.
5. Rp600 ratus juta dengan cek No.127157 tanggal 01 Mei 2012
Bahwa ternyata Akta otentik berupa Akta Penyelesaian Kewajiban No. 5 tanggal 17 April 2012 tersebut adalah akal-akalan dari saksi Samuel Purba dengan terdakwa Bonardo Nasution yang mana isinya seolah-olah benar dengan fakta yang sebenarnya.
Padahal kenyataannya sampai saat ini saksi korban Santosa Brata Djaja tidak pernah menerima uang satu rupiah pun dari saksi Samuel Purba sebagaimana yang tertuang dalam Akta Penyelesaian Kewajiban tersebut.
Malahan Akta Penyelesaian Kewajiban No. 5 tanggal 17 April 2012 itu digunakan saksi Samuel Purba sebagai salah satu syarat untuk menjual tanah milik saksi Santosa, Girik No.C 343, Persil 21 SIII atas nama Miot Binti Miah seluas kurang lebih 30.810 m2 No 385, yang terletak di Kelurahan Cipayung Kecamatan Cipayung Jakarta Timur.
Tanah yang semula atas nama PT Bina Kualita Teknik itu dijual oleh saksi Samuel Purba kepada PT. Sumber Daya Nusaphala berdasarkan Akta Jual Beli No 30/2012 tanggal 20 Nopember 2012 dan terakhir dari PT. Sumber Daya Nusaphala telah mengalihkan haknya kepada PT Sayana Integra Properti berdasarkan Akta Jual Beli No 556/2014 tanggal 11 Desember 2014.
Dan, sampai sekarang saksi Santosa Brata Djaja tidak pernah menerima uang ganti rugi/kompensasi sebagaimana yang telah disepakati sebesar Rp.4,5 miliar.